TRANSFORMASI DIRI, HALAL ? (2)
Mulanya rasa ingin tahuku minta dikabulkan, aku timbang-timbang dan keputuskan OK, kebetulan ada teman gaul jadul (jaman dulu) masa indah di SMA, kebetulan sama-sama nonton dan kursinya bersebelahan, sama-sama tak bawa Doi masing-masing ingin nyendiri tuh. Usai nonton film tengah malam serial James Bond “Quantum Solace” kami sepakat langsung ke salah satu kafe di komplek yang sama, tak jauh hanya beberapa langkah dari kami nonton. Langsung ambil meja posisi sudut paling belakang, lampunya agak remang-remang, sepertinya lebih pas untuk kami yang sekedar ingin tahu kehidupan kota ini.
Pakaian temanku casual style sangat menarik malam itu, apalagi sesekali lampu silih berganti menyentuh wajahnya yang oval
Sudah kurang lebih satu jam kami berada disana, menghabiskan 4 kaleng minuman ringan dan beberapa piring makanan ringan pendamping sebagai tambul. “Aku yang jamin” katanya langsung ke kasir, bayar dan beres. Sejujurnya aku kurang nyaman sebagai lelaki, karena kalah cepat dari dia kali ini.
Ketika berjalan keluar kafe ia bertanya : “dimana parkir mobilmu Sel ?
Agak sedikit minder aku jawab apa adanya, “aku naik motor , parkir di belakang Gramed”.
Mari sama-sama! (sambil berjalan menuju BMW seri teranyar)… kuantar kau Sel kemotormu
Dalam interior mobil mewah yang seba wah itu aku hanya tegang tegamang sambil menikmati luncuran mobil menuruni jalan curamnya koridor parkir, bayangkan dari lantai empat bung.
Dalam satu jam itu begitu banyak yang kami lakukan dari nostalgia masa remaja dengan tingkah pola degil, norak dan nyelenehnya habis diceritakan sampai politik kacangan dan segala kambing hitam, tapi tidak satupun menyinggung urusan keluarga, sama sekali tidak.
Temanku ini adalah WNI keturunan Tionghoa, dia agak tomboy, waktu sekolah dulu dia naik sepeda sama dengan saya. Rumahnya di salah satu gang kecil jalan Gajah Mada, dikeliling kandang Babi, kubangan dan semak-semak. Aku sendiri tinggal di Asrama Meliter Gatot Soebroto II Sei Raya, jauh dari rumahnya.Tapi kami saling akrab gitu lho…
Suatu hari aku kerumahnya, tanya pada orangtuanya apakah ada Mirawati, ibunya jawab bahwa keluarganya tak ada nama Mirawati, yang ada Chen Chen. Ternyata Chen Chen itulah Mirawati, hal ini lajim terjadi karena nama Mirawati adalah nama dari hasil tekanan politik jaman itu.
Keluarga Mira tidaklah kaya, pernah ketika aku jemput dia untuk pergi ke sekolah ia sedang makan bubur dengan lauk kecap dengan cara yang unik, begini dia makan bubur pakai sepit bambu, setiap suap bubur dia kulum kayu belian berbentuk kubus kecil yang terlebih dahulu dicelupkan dalam kecap pada mangkuk kecil. Saya pernah coba, sulit tapi penuh sensasional.
Mira yang sekarang dimataku tetap mira yang dulu, rendah hati, gayanya, ngomongnya, tomboynya, guraunya, tetap Indonesia banget, Cuma sepedanya telah berubah jadi BMW.
Selamat ya Teman.
Mira kapan mulai Sholat ? Ayo sebelum terlambat!
Terima Kasih telah menemaniku sesaat dalam imajinasiku.
NB. Nama dan cerita hanya imajiner saja. penulis.
Pakaian temanku casual style sangat menarik malam itu, apalagi sesekali lampu silih berganti menyentuh wajahnya yang oval
Sudah kurang lebih satu jam kami berada disana, menghabiskan 4 kaleng minuman ringan dan beberapa piring makanan ringan pendamping sebagai tambul. “Aku yang jamin” katanya langsung ke kasir, bayar dan beres. Sejujurnya aku kurang nyaman sebagai lelaki, karena kalah cepat dari dia kali ini.
Ketika berjalan keluar kafe ia bertanya : “dimana parkir mobilmu Sel ?
Agak sedikit minder aku jawab apa adanya, “aku naik motor , parkir di belakang Gramed”.
Mari sama-sama! (sambil berjalan menuju BMW seri teranyar)… kuantar kau Sel kemotormu
Dalam interior mobil mewah yang seba wah itu aku hanya tegang tegamang sambil menikmati luncuran mobil menuruni jalan curamnya koridor parkir, bayangkan dari lantai empat bung.
Dalam satu jam itu begitu banyak yang kami lakukan dari nostalgia masa remaja dengan tingkah pola degil, norak dan nyelenehnya habis diceritakan sampai politik kacangan dan segala kambing hitam, tapi tidak satupun menyinggung urusan keluarga, sama sekali tidak.
Temanku ini adalah WNI keturunan Tionghoa, dia agak tomboy, waktu sekolah dulu dia naik sepeda sama dengan saya. Rumahnya di salah satu gang kecil jalan Gajah Mada, dikeliling kandang Babi, kubangan dan semak-semak. Aku sendiri tinggal di Asrama Meliter Gatot Soebroto II Sei Raya, jauh dari rumahnya.Tapi kami saling akrab gitu lho…
Suatu hari aku kerumahnya, tanya pada orangtuanya apakah ada Mirawati, ibunya jawab bahwa keluarganya tak ada nama Mirawati, yang ada Chen Chen. Ternyata Chen Chen itulah Mirawati, hal ini lajim terjadi karena nama Mirawati adalah nama dari hasil tekanan politik jaman itu.
Keluarga Mira tidaklah kaya, pernah ketika aku jemput dia untuk pergi ke sekolah ia sedang makan bubur dengan lauk kecap dengan cara yang unik, begini dia makan bubur pakai sepit bambu, setiap suap bubur dia kulum kayu belian berbentuk kubus kecil yang terlebih dahulu dicelupkan dalam kecap pada mangkuk kecil. Saya pernah coba, sulit tapi penuh sensasional.
Mira yang sekarang dimataku tetap mira yang dulu, rendah hati, gayanya, ngomongnya, tomboynya, guraunya, tetap Indonesia banget, Cuma sepedanya telah berubah jadi BMW.
Selamat ya Teman.
Mira kapan mulai Sholat ? Ayo sebelum terlambat!
Terima Kasih telah menemaniku sesaat dalam imajinasiku.
NB. Nama dan cerita hanya imajiner saja. penulis.
0 komentar:
Posting Komentar